Foto: Saat Gubernur Sumut Edy Rahmayadi meninjau jalan trans Palas-Madina. (15/6) (Info Sumutku) |
Salah satu program Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Pemprovsu) yang dipimpin oleh Edy Rahmayadi selaku Gubernur Sumatera Utara dan Musa Rajekshah selaku Wakil Gubernur Sumatera Utara periode 2018-2023 adalah Membangun Desa dan Menata Kota. Program ini bentuk keseriusan pengabdian Edy Rahmayadi dan Musa Rajekshah kepada masyarakat Sumatera Utara (Sumut) baik yang diperkotaan maupun yang di pedesaan.
Program ini dibuat bukan tanpa dasar. Sebagaimana kita
ketahui, program ini berdasarkan potensi Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya
Manusia (SDM) yang ada di Sumut. Jika kita lihat berdasarkan pembagian wilayah
yang ada di Sumut, dapat kita ketahui bahwa Provinsi Sumut yang luas wilayahnya
72.981,23 km² terdiri dari 25 Kabupaten dan 8 Kota atau sama dengan 33
Kabupaten/Kota. Di dalam 33 Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Sumut terdapat
444 Kecamatan, 693 Kelurahan, dan 5.417 Desa. Sedangkan secara jumlah
penduduknya, data tahun 2017 mencapai 14.725.093 jiwa.
Nah, dari data di atas, program Membangun Desa dan Menata
Kota adalah merupakan suatu program bagaimana membangun Sumut dari dari
desa-desa hingga ke kota, atau sebaliknya dari kota-kota hingga sampai ke
desa-desa. Potensi SDA yang ada di wilayah Sumut, baik dari darat maupun air,
harus dikembangkan oleh pemerintah dan masyarakat.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Edy Rahmayadi ketika
menghadiri suatu acara di Kabupaten Labuhan Batu, awal-awal pemerintahannya,
bahwa banyak potensi desa yang bisa dikembangkan di daerah. Tak lupa beliau pun
mengajak untuk mengembangkannya bersama-sama agar terwujudnya pembangunan di
desa.
Bicara pembangunan desa dan kota, ini sebenarnya tidaklah
sulit, mengingat kultur dan budaya kita di Indonesia yang masih mengenal gotong
royong atau bekerja sama membangun desa. Dengan penuh keyakinan yang sangat,
rasa persaudaraan dan pesatuan kita belumlah tercerabut walau sisi negatif dari
kemajuan informasi teknologi dan komunikasi begitu maraknya dari kota hingga
sampai ke desa.
Pengalaman Pribadi
Berbicara desa dan kota, telah ada dalam jati diri saya.
Maksudnya, saya lahir hingga sampai Sekolah Menengah Pertama (SMP) berada di
suatu desa, dan setelah itu tinggal di suatu kota yang sedang berkembang,
hingga saat ini menetap di kota yang menjadi Ibukota Provinsi Sumut yaitu
Medan. Suasana, kondisi, karakter kehidupan di desa dan di kota, udara desa dan
kota dan lainnya telah menyatu dalam diri. Tidak lepas juga perhatian saya,
terhadap permasalahan-permasalahan yang ada di masyarakat desa dan kota, baik
permasalahan yang berbentuk (fisik) maupun non-fisik, seperti budaya
masyarakat, karakter, pola pikir masyarakat, dan lainnya.
Di desa masih ditemukan cara berpikir (mindset) masyarakat
bahwa kehidupan di desa sangat menyakitkan, dan kehidupan di kota sangat
menyenangkan. Padahal, anggapan itu tidaklah benar jika potensi-potensi di desa
dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan di desa. Sedangkan di kota,
ditemukan cara berpikir yang sudah mulai mengarah pada materislisme yang mulai
membunuh sisi-sisi kemanusiaannya. Kehidupan kota yang sangat keras dalam
mencari penghidupan, berimplikasi pada bermacam-macamnya perbuatan buruk yang
terjadi di masyarakat kota.
Melihat desa dan kota bagi saya, seperti melihat uang logam.
Dua sisi yang tidak bisa dipisahkan. Sehingga program membangun desa dan menata
kota ini dalam aplikasinya tidak membeda-bedakan mana yang utama dan mana yang
terakhir. Jika tidak bisa secara bersama, hal itu dapat dimaklumi, tapi kiranya
harus berkesinambungan sampai terwujudnya pembangun.
Membangun Desa dan Menata Kota
Dalam kajian ilmu ekonomi pembangunan, sudah menjadi
pengetahuan umum bahwa pembangunan atau membangun itu terdiri dari fisik dan
non-fisik. Setiap kita pastinya sudah mengetahui seperti apa contoh pembangunan
fisik dan pembangunan non-fisik. Kedua-duanya tidak bisa dipisahkan, karena
kedua-duanya saling berkaitan dan saling hidup dalam tatanan masyarakat.
Saya tidak terlalu banyak mengetahui bagaimana tafsiran atau
interpretasi dari program ini versi Pemprov Sumut, akan tetapi secara pribadi
saya memiliki beberapa pendapat, yang barangkali tidak jauh berbeda dari
penafsiran pihak Pemprovsu terkait membangun desa dan menata kota. Argumentasi
dalam tulisan ini juga dapat berupa masukan untuk kita yang ingin membangun
desa dan menata kota, jika memang diperlukan.
Sebagaimana dikatakan sebelumnya, bahwa desa dan kota tidak
dapat pisahkan. Ibnu Khaldun dalam bukunya yang sangat terkenal, dengan judul
“Mukaddimah”, menyebutkan bahwa desa adalah tempat penghasil kehidupan kota,
dan kota menjadi tempat penghasil yang dibutuhkan desa. Maksudnya, apa yang
dihasilkan, seperti peternakan dan pertanian akan diangkut ke kota untuk
kebutuhan masyarakat di kota atau diolah di kota sebagai basis pembangunan
industri. Sebaliknya, apa yang menjadi hasil produksi makan akan sampai lagi ke
desa. Dan ini terus akan berputar dengan saling membutuhkan.
Pembangunan desa dan penataan kota tentunya berbeda. Jika
berbicara pembangunan desa, ada dua hal yang paling sentral untuk diutamakan,
yaitu hasil pertanian dan peternakan. Secara SDMnya, pemerintah atau secara
individu masyarakat harus dibangun dengan cara mengedukasi terkait masalah pertanian
dan peternakan. Jika dua hal ini telah optimal, maka pembangunan desa yang
paling sentral lagi adalah pembangunan fisik seperti pembangunan jalan, karena
jalan yang baik akan menguntungkan bagi masyarakat desa untuk menyalurkan hasil
pertaniannya ke kota. Seiring melakukan pembangunan desa dalam tiga bidang
tersebut, pembangunan non-fisik; budaya, adat, pendidikan, kesehatan, keagamaan
dan lainnya harus juga dibangun.
Terkait mengenai pendanaan membangun desa, tidak lagi
menjadi bahan pikiran pemangku desa atau kepala daerah saat ini. Dana desa yang
disalurkan dari pusat untuk membangun desa secara fisik dan non-fisik, sehingga
menjadi lebih mudah dan lancar. Dengan catatan bahwa kepala desa benar-benar
menyalurkannya untuk pembangunan desa.
Selanjutnya terkait penataan kota bertujuan supaya kota
menjadi lebih nyaman untuk dihuni oleh masyarakat urban, mengingat
permasalahan-permasalahan dalam kota lebih kompleks dibanding
permasalahan-permasalahan di desa. Menata kota harus bertujuan pada kemakmuran,
kenyamanan, dan kesejahteraan masyarakat. Kepentingan menata kota misalnya
secara fisik jangan sampai merugikan masyarakat kota.
Menata kota tidak melulu dalam fisik, melainkan bagaimana
menata kota agar menjadi tempat tinggal yang nyaman, memenuhi kebutuhan dasar
masyarakat kota, seperti lapangan pekerjaan, kesehatan, pendikan, lingkungan,
hiburan masyarakat, moral masyarakat, dan lainnya. Jika mau melihat contohnya,
dapatlah kita lihat bagaimana baiknya penataan kota di beberapa kota yang ada
di Pulau Jawa, seperti di Surabaya, Bandung, Malang dan Yogyakarta.
Inti tujuan daripada program membangun desa dan menata kota
ini pun adalah untuk kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat, sehingga
merealisasikan beberapa bagian dari visi pemerintahan Provinsi Sumut.
Membangunan desa dan menata kota sebenar-benarnya untuk kepentingan masyarakat
luas, bukan kaum elit. Dan supaya terwujudnya masyarakat Sumut yang maju, aman,
sejahtera dan bermartabat, Pemprov Sumut, Pemerintahan Kabupaten/Kota dan
masyarakat Sumut harus saling berkerjasama dalam membangun desa dan menata kota
di. Mudah-mudahan.
*Penulis Brimob Ritonga adalah pegiat literasi dan pengamat keadaan yang
berdomisili di Medan.
Catatan: Tulisan ini sudah diterbitkan di Harian Analisa