Foto : Ongku Martua Siregar, S.H., C.R.A. |
Dalam sistem pemidanaan di Indonesia sejak dahulu diketahui hanya cenderung mengarah pada tujuan Retributif (Pembalasan) dan terfokus pada pertanggung jawaban pelaku melalui hukuman badan (Penjara) sementara pemulihan kepada hak-hak korban tidak jarang menjadi terlupakan atau setidak-tidaknya luput dari perhatian kita. Sehingga banyak pihak yang melihat bahwa sistem yang demikian itu masih kurang memenuhi rasa keadilan khususnya bagi korban, oleh karenanya teori Restorative Justice (RJ) beberapa tahun belakangan ini terus menerus dikembangkan agar dapat segera diterapkan dalam sistem pemidanaan oleh penegak hukum.
Secara umum Restorative Justice dapat dimaknai sebagai prinsip keadilan yang dicapai melalui proses dialog dan mediasi yang difokuskan pada pemulihan kembali pada keadaan semula, artinya prinsip ini mengedepankan pemulihan kerugian yang dialami oleh korban. Prinsip ini sifatnya adalah alternatif atau opsional dari sistem pemidanaan yang telah ada selama ini, sehingga dibutuhkan kerelaan dan kesepakatan dari para pihak yang berperkara untuk dapat diterapkannya Restorative Justice ini.
Lembaga penegak hukum mulai dari Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung sampai Kepolisian telah menerbitkan peraturan yang menjadi landasan dan pedoman dalam penerapan prinsip Restorative Justice yakni Peraturan Mahkamah Agung dan Surat Edaran Mahkamah Agung, Panduan restorative justice dalam lingkungan peradilan umum diatur dalam Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum yang terbit pada 22 Desember 2020, Peraturan Jaksa Agung (PERJA) Nomor 15 Tahun 2020 tentang penghentian penuntutan berdasarkan keadilan Restorative Justice dan Peraturan Kapolri No. 8 tahun 2021 tentang penanganan tindak pidana berdasarkan keadilan Restoratif.
Bahwa jika dilihat dari peraturan tersebut di atas khususnya peraturan Jaksa Agung dan peraturan Kapolri, dalam tahap penyidikan dan penuntutan kedua institusi itu baik Kejaksaan maupun Kepolisian bahkan dapat menerapkan prinsip Restorative Justice dengan syarat-syarat tertentu, sehingga penyelesaian perkara dapat dilakukan tanpa melalui proses persidangan di pengadilan.
Namun pertanyaan yang kemudian muncul adalah sejauh mana kedua institusi penegak hukum tersebut dapat memahami bahwa prinsip Restoratif Justice adalah sebagai alternatif atau opsional bagi penyelesaian perkara di luar pengadilan sehingga kecenderungan untuk memaksakan penerapan Restorative Justice ini kepada korban tidak terjadi. Prinsip ini hanya dapat diterapkan jika adanya kerelaan atau persetujuan dari korban untuk mengalihkan hukuman pidana penjara bagi pelaku menjadi ganti rugi dalam rangka pemulihan hak-hak korban.
Pertanyaan selanjutnya adalah sejauh mana Penyidik Kepolisian dapat mengetahui tindak pidana yang seperti apa yang patut diberikan ruang untuk penerapan prinsip Restorative Justice dan mana yang tidak..?
Misalnya saja tindak pidana pencabulan terhadap anak, jika dilihat dari kerugian yang ditimbulkan serta besarnya ancaman hukuman, maka sangat tidak patut untuk diberikan kesempatan untuk diterapkan Restorative Justice yang berujung kepada penghentian penyelidikan maupun penghentian penyidikan. Restorative Justice patut diterapkan kepada pelaku tindak pidana pencabulan terhadap anak hanya dalam pengadilan oleh Hakim, artinya pidana penjara bagi pelaku tetap dikenakan serta ditambah hukuman untuk membayar denda kepada korban dalam rangka pemulihan kembali dalam keadaan semula.
Dengan demikian menurut hemat saya, ujung tombak penerapan prinsip Restorative Justice ini berada di tangan Kepolisian dan Kejaksaan, kedua institusi penegak hukum tersebut diharapkan bijak dalam menerapkan prinsip ini sehingga tujuan awal dari prinsip Restorative Justice dapat terwujud dengan baik yaitu semata-mata memfokuskan pada pemulihan kerugian korban. Jangan sampai menjadi antiklimaks yang diakibatkan oleh perilaku oknum-oknum penyidik kepolisian yang justru menyalahgunakan prinsip ini untuk kepentingan pelaku tindak pidana dengan cara memaksa korban untuk memaafkan pelaku agar pelaku terbebas dari tuntutan pidana.