Foto : Pihak Dinkes Paluta dan tim fasilitator dari Dinkes Provsu memberikan edukasi kepada masyarakat terkait program STBM di wilayah kecamatan Dolok.(Istimewa). |
PADANG LAWAS UTARA - Sanitasi merupakan salah satu unsur penting bagi peningkatan kesehatan masyarakat yang pada akhirnya berujung pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Seperti diketahui, buang air besar sembarangan atau beraktifitas mandi dan mencuci di sungai sudah menjadi budaya dan dianggap biasa di sejumlah desa wilayah kabupaten Padang Lawas Utara (Paluta) karena sebagian besar warga masih beranggapan membangun jamban memerlukan biaya yang mahal.
Oleh karena itu, Pemerintah kabupaten Paluta melalui Dinas Kesehatan secara gencar mengajak dan melakukan pendekatan kepada masyarakat untuk tidak melakukan buang air besar sembarangan (BABS) melalui program stop BABS dan mengimplementasikan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM).
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Paluta dr Sri Prihatin Harahap melalui Kabid Binkesmas Emmi Sari Pohan mengatakan bahwa pihaknya sengaja mendatangkan fasilitator yang merupakan Sanitarian dari provinsi Sumatera Utara yakni Linda Christina Bangun untuk melakukan pemicuan dan edukasi kepada masyarakat di sejumlah desa di kecamatan Dolok sehingga menimbulkan kesadaran bahwa sanitasi adalah masalah bersama karena dapat berakibat kepada semua masyarakat sehingga pemecahannya juga harus dilakukan dan dipecahkan secara bersama.
“Edukasi stop BABS dan STBM ini penting dan berhubungan erat dengan upaya penurunan stunting di daerah kita ini. Saat ini pola pendekatan dan turun langsung ditengah masyarakat merupakan langkah yang kita laksanakan,” jelas Emi, Senin (27/06/2022).
Emi mengatakan, STBM dikembangkan sebagai upaya pemberdayaan masyarakat dalam rangka penanganan stunting yang dikenal sebagai STBM Stunting.
Ia menambahkan, pendekatan dan edukasi yang dilakukan di sejumlah desa di kecamatan Dolok ini dilakukan selama dua pekan terakhir dan mendapat sambutan yang baik dari masyarakat dengan dibantu oleh pemerintah kecamatan, petugas kesehatan dari Puskesmas Sipiongot, Babinsa dan Bhabinkamtibmas, pemerintah desa serta tokoh masyarakat sekitar.
“Dua bulan lagi kita akan kembali melakukan evaluasi kepada masyarakat terkait komitmen untuk stop BABS dan menerapkan sanitasi yang sehat,” katanya.
Saat ini katanya, 40% desa di wilayah kecamatan Dolok, masyarakatnya sudah stop BABS/ODF dan tahun ini ditargetkan mencapai 100% masyarakat sudah stop BABS dan ODF.
Sementara, fasilitator yang merupakan Sanitarian pada Dinkes Provinsi Sumut Linda Christina Bangun yang berjuang bersama timnya memberijan edukasi menyebutkan bahwa akses masyarakat terhadap penggunaan jamban di sejumlah wilayah di kecamatan Dolok belum menunjukkan tanda-tanda kemajuan yang signifikan, bahkan, bisa jadi para pihak yang berkepentingan terhadap persoalan sanitasi ini masih terbatas dalam melakukan kegiatannya guna mesukseskan capaian terhadap akses sanitasi ini.
Selama ini yang menjadi prioritas utama hanyalah pembangunan-pembangunan yang bersifat fisik material. Sementara, pembangunan yang mengarah pada perubahan mindset masyarakat, terutama yang berkaitan dengan penciptaan kultur hidup bersih dan sehat, masih belum berjalan secara optimal.
“Mindset atau pola pikir masyarakat itulah yang tengah kita ubah selama ini dengan menjadikan buang air besar sembarangan menimbulkan rasa malu, jijik dan gengsi,” katanya.
Sebab katanya, mengubah pola pikir adalah langkah paling utama dalam mencapai SBS/ODF yang kemudian dilakukan intervensi pembangunan fisik sehingga daerah – daerah yang masih OD/BABS bisa cepat bebas dari BABS atau open defecation free (ODF).
Karena kebiasaan BAB disungai sudah menjadi kebiasaan turun temurun ditengah masyarakat, apalagi banyak aliran sungai yang mengelilingi wilayah kecamatan Dolok dan masyarakat menggunakan sungai untuk keperluan sehari-hari, salah satunya untuk BAB.
“Ada sebagian masyarakat yang sebenarnya mampu untuk membuat jamban, tapi mereka mengatakan tidak bisa BAB kalau tidak disungai. Ada juga masyarakat yang menganggap bahwa membuat jamban itu mahal, padahal membuat jamban itu tidaklah mahal,” terangnya.
Perilaku masyarakat yang senang buang air besar sembarangan inilah yang menjadi pokok masalah dalam menuntaskan masalah sanitasi, apalagi untuk desa – desa yang sekitarnya di lalui sungai, budaya mandi, mencuci dan buang air besar sembarangan di sungai membuat mereka tidak perlu susah susah membangun jamban di rumah, apalagi sungai selama ini menjadi tempat mereka dalam bersosialisasi dengan rekan atau tetangga mereka.
Banyak program – program yang di canangkan oleh pemerintah untuk mengentaskan masalah sanitasi dan kesehatan, namun demikian masih banyak masyarakat yang belum bisa mengubah mindset senang beraktifitas mandi, mencuci dan BABS di sungai apalagi di tambah pemahaman masyarakat tentang jangan buang sampah di sungai masih sangat kurang.
“Pada dasarnya bidang sanitasi dan kesehatan memerlukan tenaga ekstra, karena mengubah sebuah prilaku yang turun temurun di masyarakat sangatlah sulit, pemahaman dan pemicuan harus sering di lakukan di masyarakat,
Linda menyebutkan, ada beberapa langkah – langkah yang biasa dilakukan untuk pemicuan dan edukasi tentang STBM antara lain :
- Pendekatan terhadap masyarakat dengan memberikan contoh tentang pola hidup sehat dan bagaimana sebaran penyakit yang sering terjangkit di masyarakat,
- Mengadakan forum diskusi terbuka dan memberi penjelasan bahwasannya kegiatan ini bukan untuk menggurui, akan tetapi lebih ke arah mengajak masyarakat untuk bisa menerapkan hidup sehat,
- Membangun hubungan secara emosional dengan masyarakat agar mereka merasa menjadi subject bukan menjadi object dalam perubahan prilaku hidup sehat,
- Pendataan penduduk yang sudah memiliki akses jamban sehat dan belum ada akses jamban,
- Pemetaan sosial agar dapat di tinjau daerah mana yang lebih memerlukan pendampingan dan pemicuan,
- Menjelaskan alur kontaminasi penyakit yang sering mewabah akibat sanitasi yang tidak sehat,
- Simulasi tentang sebaran penyakit sehingga dapat membahayakan kesehatan manusia,
- Advokasi masyarakat agar memiliki rasa malu, jijik dan gengsi jika BABS serta mengajak masyarakat untuk berjanji tidak akan BABS di sungai lagi,
Menurutnya, ada beberapa daerah setelah dilakukan pemicuan beberapakali bisa mencapai ODF/SBS dan ada pula yang setelah dilakukan pemicuan berkali – kali masih belum bisa ODF/SBS.
Oleh karena itu, perilaku masyarakat yang demikian ini memerlukan perhatian lebih ekstra baik dari Dinas Kesehatan ataupun Perangkat Desa, tokoh masyarakat atau pihak terkait yang merupakan pemangku jabatan maupun penentu kebijakan demi kemajuan masyarakat.
“Mengedukasi dan mengajak masyarakat yang demikian dibutuhkan satu sistem regulasi dan kerjasama serta peranan aktif semua pihak untuk mendorong mereka agar dapat mengubah prilaku atau mindset masyarakat,” katanya.
Tambahnya, melalui ceramah tokoh agama tentang pemahaman agama yang melarang membuka aurat atau pemahaman kebersihan sebagian dari iman dapat dimunculkan dalam mengadvokasi masyarakat agar tumbuh rasa dosa apabila buang air besar sembarangan atau buang sampah di sungai.
Ia juga menyebutkan bahwa target kabupaten Paluta bebas dari BABS atau open defecation free (ODF) tahun 2024 dapat terwujud jika semua pihak bersinergi dan bekerjasama.
“Sanitasi yang sehat merupakan salah satu pondasi untuk mewujudkan masyarakat dan generasi yang sehat. Jika semua pihak bergandeng tangan, saya yakin target kita di tahun 2024 kabupaten Paluta bebas dari BABS atau ODF dapat terwujud,” pungkasnya.(Ar)