Foto : Ali Sadikin (istimewa). |
Oleh : Muharram Anugrah Siregar
Membaca berita soal brand "Citayam Fashion Week" yang kini sedang didaftarkan oleh seorang artis dan seorang influencer, saya tiba-tiba teringat pada Ali Sadikin. Bang Ali adalah pelopor pembangunan gelanggang remaja (youth center) pada zamannya.
Sebagai pemimpin ibukota, sejak awal ia sudah menyadari bahwa kota besar seperti Jakarta memerlukan public space khusus untuk anak muda, agar mereka bisa berkembang sembari berkreasi, baik dalam bidang seni, budaya, olahraga, ataupun bidang keterampilan lainnnya.
Itu sebabnya, ketika mulai membangun gelanggang-gelanggang remaja pada tahun 1969, Bang Ali menyediakan bengkel kerja, auditorium, panggung, serta perpustakaan sebagai fasilitasnya. Gelanggang remaja, pada zamannya, berkembang menjadi public space anak muda.
Sebelum gelanggang remaja, Bang Ali juga telah mendirikan public space untuk para seniman, sastrawan, serta penggiat kebudayaan, yang kini kita kenal sebagai Taman Ismail Marzuki.
Sayang, sejak tiga dekade silam, seiring menjamurnya mall di ibukota dan kota-kota besar lainnya, kita telah mengalihkan fungsi dan posisi berbagai public space tadi ke mall. Kalau ingin mengajak anak-anak bermain, datanglah ke mall. Kalau ingin ketemu kolega sembari ngopi atau makan, datanglah ke mall. Kalau ingin bercengkerama bersama keluarga, datanglah ke mall. Kalau mau buat acara, terutama buat anak dan remaja, buatlah di mall. Semua kegiatan seolah bisa dilakukan di mall.
Namun, fungsi mall sebagai public space ternyata hanya bersifat artifisial. Pada kenyataannya, mall tidak pernah benar-benar bersifat publik.
Pada fenomena seperti Citayam Fashion Week, kita mestinya segera menyadari betapa sangat minimnya public space untuk anak muda pada zaman sekarang ini. Sehingga, alih-alih meributkan dan mengaitkan fenomena tersebut dengan persoalan pelanggaran lalu lintas, seperti yang disuarakan polisi, kita mestinya menghubungkan hal itu dengan absennya public space untuk anak muda di kota-kota besar.
Tapi, jangankan bicara gelanggang remaja, ada berapa kota besar sih yang kini memiliki trotoar lapang, nyaman, dengan akses angkutan publik beraneka seperti Jl. Jenderal Sudirman, Jakarta?
Jadi, kalau anak-anak muda dari pinggiran kota itu kini senang nongkrong di trotoar Sudirman, yang mestinya membuat kita miris adalah ini : seandainya kita punya tempat kumpul-kumpul anak muda yang memadai, mereka tentu tidak akan nongkrong di trotoar jalan protokol.
Adakah pejabat publik kita yang sudah memikirkan hal ini? Atau, jangan-jangan para pengusaha mall justru yang sedang memikirkan bagaimana caranya memboyong anak-anak muda itu agar bisa meramaikan mall-nya?
Kasihan sekali anak-anak muda kita. Sudah tidak dapat fasilitas, kemudian hanya jadi komoditas orang-orang atas.