Karya: Ahmad Mora Rambe.
Embun masih terlihat segar.
Didepan halaman rumah.
Terhampar sawah kehijauan yang indah.
Terlihat senyum para petani, panen akan tiba.
Anak-anak riang.
Bermain kelereng, kadang petak umpet.
Bangun taman, kokoh bangunan.
Dari gumpalan tanah.
Seketika dua anak pesawat tempur.
Melintas kota hingga penjuru desa.
Semakin risau, semakin membingungkan.
Entah apa gerangan.
Suara letusan.
Terdengar dari kejauhan.
Badai peluru memancarkan.
Pada sasaran manusia tak berdosa.
Dengan suara yang sangat mengerikan.
Pukulan beduk, mengisyaratkan;
"Kemaskan barang, lalu lari ketempat yang aman. Belanda datang!"
Tinggalkan rumah, tinggalkan ladang.
Huru-hara menuju hutan.
Tanpa sadar, pandanganku mengarah ke langitm
Awan terlihat hitam, kemerah-merahan.
Menandakan perang berlangsung.
Tanpa ingat, ayah dan ibu.
Esok akan jadi histeris.
Yang kalah menjadi tawanan.
Akan jadi budak, kerja paksa, menahan lapar.
Disiksa, perlahan mati sia-sia.
Kaum perempuan kehilangan sadar.
Tak sempat memuji Tuhannya.
Dilibas berkelanjutan.
Dijadikan pemuas nafsu birahi.
Tubuh manusia yang gugur.
Tergeletak di Medan pertempuran.
Suara tangisan memandang ayah dan ibu.
Tersayat butiran peluru.
Surat-surat dilayangkan diseluruh pulau.
"Hari ini, kita memutuskan menjadi bangsa yang besar. Dengan semboyan Merdeka Atau Mati!".
Fatwa berbagai kalangan agama.
Melibatkan laskarnya.
Turut andil dalam pertempuran.
"Jihad Fisabilillah atau Budak Selamanya!"
Segenap tumpah darah.
Jendral Sudirman masih bergerilya.
Dengan pasukan tak terkalahkan.
Walau disekujur tubuh tak kau perdulikan.
Demi bangsa dan tanah air.
Bila masanya, masanya telah tiba.
Pertempuran sengit.
Penghancuran gedung-gedung yang dihuni kaum keparat.
Upaya keras, tanpa takut mati
Atas kuasa anugerah Ilahi Robbi.
Luka disekujur tubuh, dengan wajah haru.
Pengibaran bendera merah putih.
Berkibar di langit yang dinantikan.
Menjadi bangsa yang besar, bangsa Indonesia.
Seraya berkata;
Merdeka!
Merdeka!
Merdeka!